Makassar mencekam hari-hari itu. Kerusuhan berbau SARA meletus di ibukota Sulawesi Selatan. Toko-toko dan rumah milik warga keturunan dijarah dan dibakar. Kerusuhan tanggal 15-17 September 1997 itu menimbulkan kerugian Rp 17,5 miliar. Sekitar 2 ribu rumah dan toko hancur, dibakar dan dijarah. Tak kurang dari 80 mobil dan 150 sepeda motor jadi sasaran amuk massa.
Tragedi ini dikenang sebagai Peristiwa September. Saat itu Panglima Kodam Wirabuana dipegang oleh Mayjen Agum Gumelar. Saat patroli, Agum melihat seorang pemuda duduk di atas becaknya. Sementara ribuan orang lain sibuk menjarah toko-toko yang terbakar. Mayjen Agum yang berpakaian sipil bertanya pada pemuda itu kenapa tidak ikut menjarah. Jawaban tukang becak bernama Mustafa tersebut mengejutkan Agum.
“Itu perbuatan haram. Saya tidak pernah diberi makan barang haram oleh orang tua saya,” kata Mustafa tegas seperti dilansir dari Merdeka, Kamis (9/10/2014).
Kisah ini dituliskan Agum dalam biografinya Agum Gumelar Jenderal Bersenjata Nurani terbitan Pustaka Sinar Harapan 2004. Agum kagum pada pemuda itu. Dia kemudian memberi uang Rp 20.000, tapi Mustafa menolaknya. Mustafa tidak tahu berhadapan dengan seorang Panglima Kodam. Setelah Kapolres dan Komandan Kodim ikut mendesak, barulah Mustafa menerimanya. Uang dari Agum pun tak dipakai oleh Mustafa. Dia hanya menyimpannya saja.
Mustafa pemuda jujur berkemauan besar. Meninggalkan kampungnya di Janeponto demi melanjutkan SMA di Makassar. Mustafa tak mau hanya jadi lulusan SMP dan jadi petani. Dia punya mimpi sekolah setinggi-tingginya. Demi sekolah, pemuda belasan tahun itu jadi penarik becak. Sehari-hari, dia ditampung oleh pamannya.
Mustafa juga baru tahu setelah koran-koran ramai memberitakan Pandam Wirabuana mencari tukang becak untuk diberi penghargaan sebagai teladan. Akhirnya bertemulah Mustafa dengan Agum Gumelar.
Agum kemudian mengangkat Mustafa sebagai anak angkat. Dia menanggung semua biaya sekolah Mustafa. Agum juga mengajak Mustafa tinggal di rumah dinas Pangdam.
Tahun 1998, Agum dipindah ke Jakarta. Dia berniat mengundang Mustafa untuk mengikuti perayaan sumpah pemuda di ibukota. Namun rupanya ada kabar duka dari Makassar.
Mustafa sudah meninggal dunia. Ternyata sudah lama Mustafa sakit-sakitan. Dia tak pernah menyampaikan hal itu pada Agum. Penarik becak yang jujur itu sempat dirawat di sebuah rumah sakit, tapi karena tak ada biaya perawatan hanya asal-asalan.
Agum melayat ke Janeponto, dia disambut ribuan warga. Secara tak resmi, Mustafa diangkat jadi pahlawan kejujuran dari Janeponto. Mereka semua berduka atas kematian seorang pemuda yang layak jadi teladan. (tom)