Masih banyak penduduk miskin, banyak orang tak memiliki pekerjaan dan negara punya banyak hutang. Lalu kenapa negara tak mencetak uang dalam jumlah besar agar semua masalah itu bisa terselesaikan?
Cetak banyak uang, utang lunas dan uang pun juga bisa dibagikan kepada masyarakat miskin yang membutuhkan. Logikanya memang begitu, tapi itu jika dilihat dari sudut pandang kita sebagai penduduk.
Ternyata, mencetak uang bukanlah urusan sepele. Mencetak uang secara besar-besaran bukan berarti akan menyelesaikan masalah. Yang ada justru menambah masalah. Dilansir dari Tribunnewscom, Jumat (23/9/2016), ada dua sistem saat mencetak uang, yakni pseudo gold dan uang fiat.
Pseudo gold sendiri merupakan pencetakan uang yang didukung dengan cadangan emas atau perak. Sementara itu uang fiat yakni, uang yang beredar tidak didukung dengan aset, yang berarti sistem fiat, pemerintah atau lembaga penerbit uang bisa mencetak uang sebanyak apa pun sesuai keinginan.
Namun, dalam ekonomi, harga barang akan tergantung pada perbandingan jumlah uang dan jumlah persediaan barang. Artinya, jika barang yang beredar lebih banyak dari jumlah uang yang beredar maka harga akan cenderung turun. Sebaliknya, jika jumlah barang lebih sedikit dari jumlah uang yang beredar maka harga akan cenderung naik atau yang biasa disebut dengan inflasi.
Inflasi inilah yang membuat negara tidak mencetak uang sebanyak-banyaknya. Mencetak uang akan mempengaruhi inflasi. Jadi, jika sebuah negara mencetak uang terus-menerus dalam jumlah banyak, maka nilai uang itu bukan disebut kekayaan karena nilai mata uangnya justru akan terus merosot.
Indonesia sendiri ternyata pernah mencetak uang dalam jumlah besar pada masa pemerintahan Presiden Sukarno. Penyebabnya adalah saat itu pemerintah belum maksimal memungut pajak dari rakyatnya. Hingga akhirnya, presiden pertama mengambil kebijakan dengan mencetak uang secara berlebih. Inflasi pun tak bisa dihindari lagi.
Kejadian ini sempat membuat para mahasiswa protes dan melakukan unjuk rasa agar harga-harga diturunkan. Aksi unjuk rasa ini pun dikenal dengan Tiga Tuntutan Rakyat atau Tritura.
Negara lain seperti Zimbabwe di Afrika juga melakukan kebijakan serupa pada tahun 2008, yang tentu saja berimbas pada inflasi gila-gilaan. Bahkan saat itu, Zimbabwe memegang rekor tertinggi di dunia dalam hal inflasi, yakni sebesar 2,2 juta persen.
Jadi kesimpulannya, negara miskin atau pun negara kaya tidak akan berlebihan mencetak uang karena pengaruh inflasi yang justru akan merugikan masyarakatnya sendiri. (tom)