Kisah di Balik Pembuatan Patung Pancoran yang Nyaris Gagal

Hutomo Dwi

Bagi para penduduk Jakarta, jelas sudah tahu dengan Patung Pancoran atau yang bernama asli Patung Dirgantara. Ironisnya, tidak semua orang mengenal penggagas dan pembuatnya, apalagi memahami gagasan dan permasalahannya.

Patung Dirgantara ini dibuat oleh Edhi Sunarso, yang saat ini sudah berusia 82 tahun. Edhi sendiri dikenal sebagai pematung legendaris kepercayaan Presiden Sukarno.

Dalam kesempatan peresmian â??Tugu Mudaâ? Semarang tahun 1953 yang dikerjakan oleh Sanggar Pelukis Rakyat pimpinan Hendra Gunawan, Edhi Sunarso bertemu dengan Bung Karno.

Edhi Sunarso (Tribunnews)

Kala itu Bung Karno menghampiri Edhi dan berkata, â??Selamat ya, sukses.â? Edhi terdiam bingung mendapat ucapan tersebut. Beberapa hari kemudian ia baru tahu kalau dirinya menjadi juara kedua lomba seni patung internasional yang diselengarakan di London dengan judul â??Unknown Political Prisonerâ?.

Usai menyelesaikan pembuatan relief Museum Perjuangan di daerah Bintaran Yogyakarta tahun 1959, Edhi dipanggil Bung Karno untuk menemuinya di Jakarta. Panggilan tersebut sempat membuatnya terkejut. Dalam hati, Edhi bertanya-tanya ada kepentingan apa Bung Karno memanggilnya ke Jakarta. Selain dia, dua seniman lainnya, yaitu Henk Ngantung dan Trubus juga mendapat panggilan serupa.

Ketiga pematung andalan Indonesia ini kemudian melahirkan patung Selamat Datang yang hingga kini bisa kita nikmati di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta.

Dari sekian banyak proyek pembuatan monumen dari Bung Karno, Edhi mengakui kalau pembuatan Patung Dirgantara nyaris mandek.

Patung Dirgantara dimaksudkan Bung Karno untuk menghormati jasa para pahlawan penerbang Indonesia yang berhasil melakukan pengeboman terhadap kedudukan Belanda di Semarang, Ambarawa, dan Salatiga menggunakan pesawat-pesawat bekas peninggalan Jepang.

â??Kita memang belum bisa membuat pesawat terbang, tetapi kita punya pahlawan kedirgantaraan Indonesia yang gagah berani. Kalau Amerika dan Soviet bisa membanggakan dirinya karena punya industri pesawat, kita juga harus punya kebanggaan. Jiwa patriotisme itulah kebanggaan kita,” ujar Edhi Sunarso mengenang perkataan Bung Karno panjang lebar, seperti dikutip dari Tribunnewscom, Senin (9/1/2017).

Bung Karno meminta Edhi untuk memvisualisasikan sosok lelaki gagah perkasa yang siap terbang ke angkasa. Bahkan Bung Kano kemudian berpose sambil berkata, â??Seperti ini lho, Dhi. Seperti Gatotkaca menjejak bentala.â?

Versi awal Patung Dirgantara yang memegang pesawat (Dispenau)

Setelah model Patung Dirgantara, atau patung Pancoran selesai, Edhi mengusulkan kepada Bung Karno agar patung yang rencana awalnya berbentuk seorang manusia yang memegang pesawat di tangan kanannya diubah.

â??Pak, dengan memegang pesawat di tangan kok terlihat seperti mainan,â? ujar Edhi. â??Bagaimana kalau di tangan kanannya tidak usah ada pesawat. Cukup dengan gerak tubuh manusia saja, didukung gerak selendang yang diterpa angin,â? lanjut Edhi.

â??Yo wis Dhi, nek kowe anggep luwih apik yo ora usah dipasang. Ora usah digawe,â? (Ya sudah Dhi, kalau kamu menganggap lebih baik ya tidak usah dipasang. Tidak usah dibuat) jawab Bung Karno.

Meski rencana sudah matang, ternyata ada kendala dalam pembuatannya. Pembuatan monumen Patung Dirgantara sempat terhenti karena terjadi peristiwa G30S/PKI. Di sisi lain Edhi juga sudah tidak memunyai bahan-bahan, dan tidak memiliki uang lagi untuk melanjutkan pekerjaan. Ia bahkan menanggung utang kepada pemilik bahan perunggu dan kepada bank.

Patung Digantara sempat beberapa tahun terbengkalai di Studio Arca Yogyakarta dalam bentuk potongan-potongan yang siap dirangkai. â??Patung sudah selesai dicor perungu dan tinggal dibawa untuk dirangkai di Jakarta,â? ujarnya.

Bulan Februari 1970, di sela-sela pengerjaan diorama untuk Museum ABRI Satria Mandala, Edhie mendapat panggilan panitia pembangunan Monas untuk menghadap Bung Karno di Istana Bogor. Pada saat itulah Bung Karno kembali menanyakan tentang Patung Dirgantara.

â??Saudara Edhi, piye kabare? (gimana kabarnya?)â? kata Bung Karno. â??Patung Dirgantara nang endi? (dimana?)â? â??Sampun rampung, Pak, (Sudah selesai, pak)â? jawab Edhi. â??Kok durung (belum) dipasang? tanya Bung Karno.

Nyuwun pangapunten, Pak. Kulo sampun mboten gadah arto, kepeksa sedaya pekerjaan kulo kendelaken, (Mohon maaf pak. Saya sudah tidak memiliki uang. Terpaksa semua pekerjaan saya tangguhkan). Saya disegel, karena masih punya utang.â?

Bung Karno terenyuh. Tidak berapa lama ia memanggil Gafur dan Dullah yang duduk di belakang Bung Karno.

â??Fur, mobilku dolen, sing Buick. Nek wis payu duite serahno Edhi ben cepet (Fur, mobilku jual saja, yang Buick. Kalau sudah laku, uangnya serahkan Edhie supaya cepat) dipasang patungnya,â? ujar bung Karno.

Setelah itu Edhi pamit pulang ke Yogyakarta untuk mempersiapkan pengangkutan patung ke Jakarta. Sebelum pulang, seorang staf Bung Karno menyerahkan uang sebesar Rp 1.750.000 kepada Edhi untuk biaya transportasi pengangkutan patung ke Jakarta.

Akhirnya, pemasangan Patung Dirgantara bisa dilakukan di Jakarta. Bung Karno melihat langsung pengerjaan merangkai patung.

Wajah Patung Dirgantara (Dispenau)

Setiap bagian yang diangkat rata-rata seberat 80-100 kg. Pemasangan dimulai dari bagian kaki sampai pinggang dan setiap sambungan dilas. Ketika sampai pengelasan pada bagian pinggang, Edhi melihat ke bawah dan terlihat banyak orang berkerumun termasuk Bung Karno.

Padahal, kondisi kesehatan Bung Karno saat itu sedang tidak baik dan ia sudah tinggal di Wisma Yaso. Edhi pun bergegas untuk turun, namun dilarang oleh Bung Karno.

Bung Karno dikabarkan melakukan inspeksi sebanyak 2 kali, dan sebanyak 2 kali itu pula Bung Karno melarang Edhi untuk turun menemuinya, agar lebih fokus ke pekerjaannya.

Rencananya, Bung Karno akan melakukan inspeksi yang ketiga kalinya, namun rencana itu tak pernah terjadi karena sakit yang diderita Bung Karno semakin serius.

Pagi pukul 10.00 tanggal 21 Juni 1970, Edhi yang kala itu sedang berada di puncak Patung Dirgantara, melihat iring-iringan mobil jenazah melintas di bawah monumen. Ternyata itu adalah iring-iringan mobil jenazah Bung Karno dari Wisma Yaso menuju Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Jenazah Bung Karno akan dibawa ke Blitar.

Badan Edhi lemas. Ia bergegas turun dan bersama rekannya Gardono, bergegas menuju Blitar untuk mengikuti upacara pemakaman Bung Karno.

Seminggu setelah pemakaman Bung Karno, Edhi bersama tim pekerja monumen kembali ke Jakarta untuk melakukan pengerjaan akhir sekitar satu bulan. Edhi meninggalkan monumen dalam kondisi yang belum diberi nama, belum diresmikan, dan masih memiliki utang.

Namun ia merasa ikhlas dengan apa yang telah ia kerjakan untuk seorang tokoh sebesar Bung Karno yang sangat ia kagumi. Tokoh yang sangat dekat dengan seniman dan menghargai seni.

â??Saya rela demi rasa cintaku kepada bangsa dan negara dan cintaku kepada Bung Karno yang selalu mendorong dan membangkitkan keberanian saya untuk mewujudkan ide-ide dan mengerjakan karya-karya monumental Bung Karno,â? kata Edhi. (tom)

Hutomo Dwi

Cowok penyuka Jepang, dari bahasa, musik, sampai film dan animenya.