Krakatau Meletus 1883, Bulan Jadi Biru, Matahari Ungu

Hutomo Dwi

Lebih dari 130 tahun lalu, Selat Sunda bak neraka. Gunung Krakatau yang tidur panjang selama 200 tahun menggeliat. Ia tak sekadar meletus, melainkan meledakkan diri hingga hancur berkeping-keping. Para ilmuwan menyebut kekuatannya setara dengan 100 megaton bom nuklir atau setara 13 ribu kali kekuatan bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki.

Suaranya menggelegar, terdengar sampai 2.200 mil (3.500 km) sampai Australia dan 4.800 km di Kepulauan Rodrigues dekat Mauritius. Langit gelap beberapa hari setelahnya. Dua pertiga bagian gunung tenggelam ke dasar laut, dan menciptakan gelombang tsunami yang menewaskan puluhan ribuan orang. Ombak pasang terpantau sampai Selat Inggris.

Letusan Krakatau juga menciptakan fenomena angkasa. Lewat abu vulkaniknya. Abu yang muncrat ke angkasa, membuat Bulan berwarna biru.

Seperti dimuat situs Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA), Kamis (5/2/2015), beberapa partikel abu Krakatau, memiliki ukuran 1 mikron (atau satu per sejuta meter), ukuran yang tepat untuk menghamburkan warna merah, namun masih memberi peluang bagi warna lain untuk menerobos. Sinar Bulan yang bersinar putih berubah menjadi biru, kadang hijau.

Bulan tetap berwarna biru bertahun-tahun setelah Krakatau meletus. Kala itu, tak hanya Bulan yang penampakannya berubah. Orang-orang saat itu juga menyaksikan Matahari berwarna keunguan seperti lavender. Dan untuk kali pertama kalinya, awan noctilucent, awan yang sangat tinggi, membiaskan cahaya pada senja ketika matahari telah tenggelam, mengiluminasi dan menyinari langit dengan sumber cahaya yang tak tampak.

Debu vulkanik bisa “mengubah” warna yang biasanya merah menjadi biru. Partikel debu vulkanik bisa memiliki ukuran sebesar 1 mikron. Ini menyebabkan cahaya biru adalah yang paling banyak dihamburkan sehingga Bulan pun berwarna biru. Dalam kasus Matahari, penghamburan sinarnya juga mengakibatkan tampaknya warna lavender.

Astronom Ma’rufin Sudibyo mengatakan, debu vulkanik memang bisa mengakibatkan perubahan intensitas dan warna Bulan serta Matahari. Dalam kasus tertentu, Bulan bisa benar-benar lenyap saat gerhana. Matahari juga berkurang intensitasnya hingga mencapai ambang batas kebutuhan untuk fotosintesis tumbuhan jika pengotoran yang terjadi kelas berat.

“Secara teori, kalau atmosfernya kotor, kemampuannya untuk menghamburkan cahaya Matahari berkurang. Cahaya merah, yang seharusnya paling banyak dihamburkan dan bisa melintasi kerucut umbra dan jatuh di permukaan Bulan, menjadi sangat berkurang. Akibatnya tak ada cukup cahaya di permukaan Bulan saat totalitas terjadi sehingga Bulan jadi benar-benar gelap,” jelas Ma’rufin.

“Misalnya letusan gunung Agung 1963, membuat gerhana Bulan di tahun berikutnya benar-benar gelap saat totalitas terjadi. Gunung Agung mengeluarkan 300 juta meter kubik magma,” sambung Ma’rufin.

Selain Krakatau, letusan gunung yang juga mengakibatkan Bulan Biru adalah Gunung St Helen pada tahun 1980, El Chicon pada tahun 1953, dan Pinatubo tahun 1991. (tom)

Bagikan:

Hutomo Dwi

Cowok penyuka Jepang, dari bahasa, musik, sampai film dan animenya.