Di balik kehebatan Marvel dalam menciptakan superhero, ternyata tak lepas dari campur tangan ilustrator asal Indonesia. Mereka adalah ilustrator-ilustrator muda yang sudah bertahun-tahun bekerja untuk Marvel.
Ilustrator-ilustrator itu bernama Ario Anindito, Jessica Kholinne, Miralti Firmasyah, dan Rhoald Marcellius. Mereka berempat kini kini tengah menggarap proyek komik Marvel seperti X-Men higga Wolverine. Mereka pun berbagi cerita awal mula terjun ke dunia perkomikan Marvel saat berada di acara Marvel Creative Day Out yang digelar di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis kemarin.
Miralti dan Rhoald sama-sama dikontrak oleh Marvel setelah menjalani serangkaian audisi yang digelar di Jakarta pada 2014 lalu. Tertarik dengan karya keduanya, editor Marvel Comics, C.B Cebulsk langsung merekrut mereka.
“Tahun 2014 ada event di Jakarta. Kami disuruh memilih satu dari lima skrip untuk dibuat ilustrasinya. Kita pilih yang palig menarik dan cocok. Dari situ kami berhasil lolos dan baru dikasih proyek,” kenang Miralti dikutip dari Detikcom, Jumat (8/4/2016).
Sejak 2015 Miralti diberi tanggung jawab untuk membuat ilustrasi mini seri Marvel bertajuk “Star Lord & Kitty Pride”, dan saat ini tengah mengerjakan “X-Men ’92”.
Tak seperti Miralti yang langsung diberitahu hasil audisi lewat email, Rhoald sempat berharap-harap cemas karena email yang ditunggu tak kunjung datang. Hingga pada suatu hari, ia langsung dihubungi oleh pihak Marvel.
“Proyek saya di antaranya ‘Hulk’, komik Custom Edition, dan serial yang sedang dirilis saat ini, ‘Contest of Champions’,” tutur Rhoald.
Kisah yang agak berbeda disampaikan oleh Ario dan Jessica, yang sama sekali tak mengikuti kontes apapun. Jessica dipilih oleh Marvel setelah bekerja untuk publisher di Amerika Serikat pada 2009 lalu. Kala itu, Marvel tertarik dengan hasil pewarnaan Jessica sebelum mengontraknya pada 2010.
Sedangkan Ario hanya mengunggah karya-karyanya di internet sampai salah satu agensi di Italia tertarik. “Dia suka lihat gambar-gambar di internet dan selalu menawarkan orang bekerja dengan dia. Saya saat itu juga ditawarin, dan kalau mau, karya saya akan ditawarin ke produser-produser besar,” kenangnya.
“Dia lalu ketemu dengan Marvel dan lihat karya saya lalu saya diminta bikin sample. Saya awalnya dikasih naskah ‘Guardian of the Galaxy’. Di situ disuruh bikin empat halaman dari naskah komplit sebanyak 20 halaman. Saya lalu pilih halaman action. Sample saya disukain dan saya terima,” sambung Ario.
Tak hanya menggarap karya-karya Marvel dalam bentuk komik seperti “Wolverine” dan “House of M”, Ario punya pekerjaan yang agak sedikit berbeda dengan Miralti, Rhoald dan Jessica. Pria lulusan Universitas Parahyangan itu juga menggarap desain figur atau mainan berskala 1:4 karakter Marvel seperti Lady Sif dan Beta-Ray Bill.
“Prosesnya hampir sama. Dari ilustrasi pensil itu langsung di-sculpture 3D sama orang Italia. Dari situ memang nggak persis banget sama ilustrasinya sih, tapi bisa sangat mendekati,” tambah Ario.
Dalam pembuatan komik, ternyata Marvel tak terlalu cerewet memberikan instruksi pada senimannya. Ario, Jessica, Miralti dan Rhoald mengaku tak banyak diminta untuk melakukan revisi oleh sang editor. Kebebasan dalam berkarya menjadi salah satu moto Marvel untuk para senimannya. Sehingga, komunikasi dengan editor pun jarang dilakukan.
“Komunikasi sih kadang ada, kadang nggak. Kalau detail udah dijelasin, setting siang atau malam, suasana kayak apa. Mungkin nggak perlu tanya lebih lanjut. Kalau kurang info kita biasa tanya melalui email,” ungkap Jessica.
Apalagi soal pewarnaan, Marvel cenderung tidak terlalu mendikte karena masing-masing karakter sudah memiliki basic coloring sendiri. Yang penting, para seniman diminta untuk lebih up to date dengan karya-karya original Marvel.
“Marvel warnanya udah jelas. Kalau warna nggak pernah ada ‘miskom’. Biasaya di script udah dijelasin. Mungkin momen-momen khusus aja yang perlu,” tambah Ario.
Saking bebasnya, Ario kadang merasa tidak tenang jika mendapatkan revisi yang tidak terlalu bayak. Pria kelahiran Bandung tersebut merasa klien-kliennya di Indonesia lebih ‘kejam’ daripada Marvel.
“Saya selama ngerjain Marvel mereka itu baik sekali. Dibandigkan klien lokal, permintaan revisi di sini lebih keji. Marvel dikit banget revisi-an, bikin parno sendiri,” tutupnya seraya tertawa.
Sukses terus untuk mereka berempat. (tom)