Angkringan Tak Lagi Maskulin

Jowant

Jadi Berita mengabarkan – Pada dasawarsa 80-an, nama angkringan tak begitu menonjol. Angkringan hanya sekedar gerobak yang dijadikan tempat nongkrong bapak-bapak tatkala santai. Ngobrol mereka tertata, paling berkisar kejadian sehari-hari. Tak lebih dari itu. Angkringan mungkin hanya menjadi sebuah lapak untuk transaksi jual beli makanan kecil ala kadarnya berserta nasi kucing. Nasi kucing yang menjadi ikon angkringan hanyalah seonggok nasi, tak lebih dari kepalan tangan orang dewasa, yang dibungkus daun atau koran yang tak lagi terpakai.

Angkringan image credit haribahagia

Kesederhanaan memang nampak menonjol di sana. Serta merta membawa angkringan sebagai tempat nongkrong kaum miskin papa nan terpinggirkan. Biasanya yang ngumpul di sana tak lebih dari kawanan pengamen jalanan dan tukang becak. Dengan penerangan seadanya dan tungku yang menyala, seolah berguna untuk mengusir dingin. Pantas saja hal demikian itu dilakukan, mengingat biasanya angkringan ini buka dari malam hari hingga menjelang dini hari. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya era 90-an, sosok angkringan mulai sedikit berubah. Seiring dengan menjamurnya kedatangan mahasiswa dari berbagai pelosok negeri ke Yogyakarta, angkringan seolah tumbuh dimana-mana. Tak hanya di pelosok kampung, tetapi juga muncul di sekitaran Malioboro, bahkan seputaran kampus.

Ini disebabkan banyak mahasiswa yang menjadikan angkringan sebagai tempat favorinya, terutama bagi mereka yang berkantong cekak. Cukup dengan tiga bungkus nasi kucing, secangkir teh hangat dan beberapa buah tempe goreng bisa membuat kenyang. Tak mahal, kurang lebih tiga ribu perak yang harus dibayarkan kepada penjualnya. Kala itu, keadaan kuranglebih sama. Para penikmat angkringan masih saja didominasi kaum adam. Sesekali memang terlihat mahasiswi yang berbondong untuk mencoba menikmati suasana angkringan. Tapi mahasiswi yang datang memang hanya bisa dihitung dengan jari. Suasana di angkringan jadinya masih terasa maskulin. Namun, ada sedikit perbedaan, terutama dari segi bahan pembicaraan. Mayoritas mahasiswa mulai ngobrol masalah politik, yang kala itu masih tabu untuk dibicarakan. Imbasnya, bahan pembicaraan pun mulai mengalami kemajuan. Dulu sekedar curhat tak berarti, namun saat malam mulai tiba, banyak mahasiswa yang berkumpul dan berdiskusi tentang perubahan.

Tak jarang, ide demontrasi muncul dari balik angkringan yang sederhana ini. Alhasil, tak jarang intel (polisi yang menyamar) di jaman itu ikut-ikutan mampir ke angkringan. Mereka memang ditugaskan untuk menguping pembicaraan para aktivis mahasiswa itu. Perubahan sekali lagi terjadi. Secara fisik, angkringan mungkin masih tetap sederhana, akan tetapi seketika menjadi tempat nongkrong yang lebih akademis sifatnya. Ibaratnya, angkringan kini mulai naik pangkat dan lebih pintar. Seusai reformasi, angkringan menjadi bisnis yang menggiurkan. Ini tak terlepas dari romantisme mantan mahasiswa Yogyakarta yang telah tinggal di kota lain. Demi melepaskan rasa rindunya untuk kongkow dan ngobrol, mereka membuat komunitas ini. Mereka yang berkantong tebal lantas mengejawentahkan ide bisnis angkringan ini secara lebih luas. Tentunya dengan berbagai modernisasi di sana-sini. Tak lagi terkesan kumuh, namun di tata sedemikian rupa sehingga lapak angkringan kini bisa dilihat di berbagai mall.

Ini yang membuat nama angkringan semakin melegenda. Sebagai sebuah contoh, tengoklah apa yang terjadi di seputaran kali code, tepatnya di kawasan Kotabaru, Yogyakarta. Deretan angkringan terlihat berjejer rapi dan buka hingga dini hari. Pengunjungnya tak lagi didominasi kaum pria. Mulai dari ABG yang sedang di kecamuk asmara, hingga bapak-bapak ibu-ibu yang sedang dirangsang puber kedua ikut menikmatinya. Ya, memang pantas untuk dikatakan, bahwa saat ini angkringan tak lagi maskulin.

Bagikan:

Jowant

Journalist at Weekend @jdbrta