Sinetron, Band Alay, dan Yang Lebih “Meng-4LaY” Lagi

Beberapa tahun lalu, saya masih suka mengkritik sinetron atau lagu-lagu band genre melayu yang konon â??alayâ?. Sinetron yang sepertinya disukai oleh hampir semua keluarga di pelosok negeri, terutama di desa-desa, saya anggap sebagai potret â??sangat berlebihanâ? atas kehidupan (sok) glamor. Belum lagi akting para pemainnya yang (maaf) seperti boneka kayu: kaku dan agak lebay. Durasi jatuhnya air mata sang tokoh utama, penderitaan hebatnya di bawah kaki musuh bebuyutan, hingga derai tawa kejam wanita-wanita jahat membuat sinetron menjadi salah satu hal yang saya hindari untuk dilihat.

Demikian pula lagu â??pop-melayuâ?. Lagu-lagu â??alayâ? band genre melayu saat itu mulai menjamur. Awal tahun 2005, ketika Kangen Band masih â??menyusupâ? melalui radio-radio, kawan SMA saya menyodorkan lagu â??Usai Sudahâ? (Tentang Aku, Kau, dan Dia) sebagai lagi yang kata anak remaja â??gue bangetâ?. Saya tersenyum agak â??bagaimanaâ? mendengar suara mendayu-dayu Andhika (saat itu bahkan saya belum melihat wajahnya). Ketika kemudian band-band baru Indonesia menyuguhkan lagu serupa, saya seolah merasa berhak untuk angkat tangan. Lagu â??cengengâ? yang â??sangat sederhanaâ?, tapi entah kenapa mengoyak hati para remaja Indonesia, demikian komentar saya.

Namun, kini semua pikiran negatif tentang â??hal-hal miringâ? tadi, mulai dari sinetron hingga band â??alayâ?, menguap habis. Kenyataannya, sinetron menjadi hiburan (mungkin satu-satunya hiburan) mereka yang bekerja keras sepanjang hari sebagai buruh. Di tempat saya tinggal (karena saya orang desa), para buruh genting baru bisa meluangkan waktu dengan keluarga pada jam-jam sekitar sinetron tersebut diputar.

Alhasil, sinetron bisa mengumpulkan keluarga yang terpecah seharian oleh kekejaman alat tukar bernama uang. Di depan televisi, mungkin satu keluarga tersebut terdiam atau terbengong sambil menyantap makan malam. Namun, di sana terdapat esensi kehidupan sebenarnya yang sepanjang hari tercerabut paksa. Sinetron membuat golden time keluarga tetap eksis. Ayah atau ibu yang capek, tidak buru-buru ke kamar tidur.

Lagu â??alayâ? pun demikian. Remaja yang labil, menemukan kekuatan baru ketika mendengar lagu-lagu yang sesuai keadaan mereka. Bahkan, dalam titik yang sangat ekstrim, remaja kita bisa tampil â??jujurâ? dengan bantuan lagu-lagu alay tadi. Mereka mengekspresikan perasaan yang tertekan, ingin disayang, atau memberontak keadaan dengan cara mereka sendiri dengan lagu tadi. Band alay bisa dikatakan sebagai â??penyelamatâ? mereka dari keterasingan dan keterkungkungan sehingga dipuja bagaikan dewa.

Pikiran saya yang beralih â??memihakâ? sinetron dan lagu alay ini semakin bertambah ketika membaca sebuah petikan dalam jurnal apokalips, jurnal buatan orang-orang yang ingin merdeka sepenuhnya dari segala macam kekuasaan palsu yang menjebak hidup. Saya mengutipnya secara utuh sebagai berikut:

  1. Tanpa Relaxa, maka nafasmu bau dan tak seorangpun ingin berciuman denganmuâ?¦
  2. Tanpa Axe, tak seorang pun ingin menyentuh atau berdekatan denganmuâ?¦
  3. Tanpa Revlon dibibirmu, tak ada lelaki yang akan melirikmuâ?¦
  4. Tanpa sepatu Adidas, kau tak akan berolahraga dengan baikâ?¦
  5. Oiya, kau pasti mahkluk rendahan yang tak peduli lingkungan karena kosmetikmu bukan produk Body Shopâ?¦
  6. Tanpa Sampoerna Hijau, kau tak akan mendapat keasyikan bersama kawanmuâ?¦
  7. Tanpa Surf, bajumu dianggap tak bersihâ?¦
  8. Tanpa Superpel, tak ada orang yang ingin menginjak lantai rumahmuâ?¦
  9. Tanpa furniture Ikea, tak ada yang mau makan di meja makanmuâ?¦
  10. Tanpa Ponsel Nokia seri terbaru, tak seorangpun mau berkawan denganmuâ?¦
  11. Anak-anakmu tak akan mendapatkan pendidikan yang baik kecuali engkau membelikan mereka mainan edukatif yang mahalâ?¦
  12. Tanpa paket ONH Plus, engkau belum menunaikan ibadah haji secara sempurnaâ?¦
  13. Kekasihmu tak akan mau kencan denganmu lagi bila engkau tak membawa menonton film Holywood terbaru di Blitz Megaplex atau Studio 21, itupun harus ditutup dengan makan bersama di McD dan Starbuck. Lagipula, bagaimana kalian akan kencan kalau motor-matic terbarupun dirimu tak punya dan hanya mengandalkan angkutan kotaâ?¦???
  14. Renungkan seluruh aktivitasmu dan kau akan menyadari satu hal: kau tak akan dapat bersenang-senang kecuali kau mampu membayarnyaâ?¦

Meskipun kutipan tersebut agak berlebihan bagi saya, kutipan ini begitu dalam mengena dalam hati. Ya, buat apa saya mengeluh ini dan itu terhadap sinetron atau band alay, sementara sikap â??bersinetronâ? dan â??mengalayâ? sering saya lakukan setiap hari? Rasanya malu sekali, berkoar-koar sok hebat, namun kenyataannya sayalah boneka kayu sesungguhnya. Justru sayalah yang melebihi remaja yang jejeritan berteriak memuja vokalis tampan band-band â??alay-melayuâ?: menjerit setengah mampus dalam bentuk lain ketika â??kebutuhan hidup yang sudah diatur oleh sistem masyarakatâ? tidak saya miliki.

Written by Ardy Messi

Work in PR agency, Strategic Planner wannabe, a bikers, a cyclist, music and movie freak, Barca fans.

Terowongan Bawah Tanah Chu Chi, Markas Pejuang Vietcong

Rahasia Di Balik Pepatah Carilah Ilmu hingga ke Negeri Cina