Makanan tradisional memiliki potensi yang begitu besar dan penting, karena keberadaannya bisa dijadikan senjata untuk bangkit membangun bangsa. Salah satunya adalah makanan tradisional asal Yogyakarta, yaitu gudeg.
Sebagian besar orang hanya mengetahui gudeg berasal dari Yogyakarta. Sejatinya gudeg mengalami perjalanan sejarah yang panjang sebelum menjadi ikon kuliner Yogyakarta.
Diungkapkan Murdijati Gardjito yang telah menerbitkan sebuah buku berjudul “Gudeg Yogyakarta”, sejarah gudeg di Yogyakarta dimulai bersamaan dengan dibangunnya kerajaan Mataram Islam di alas Mentaok yang ada di daerah Kotagede pada sekitar tahun 1500-an.
“Saat pembangunan kerajaan Mataram di alas Mentaok, banyak pohon yang ditebang, dan di antaranya adalah pohon nangka, kelapa, dan tangkil atau melinjo,” jelasnya seperti dikutip dari Tribunnewscom, Jumat (15/4/2016).
Karena banyaknya buah nangka muda (gori), kelapa, dan daun tangkil (melinjo), akhrinya mendorong para pekerja untuk membuat makanan dari bahan-bahan tersebut. Untuk memenuhi makan para pekerja yang jumlahnya begitu besar, nangka muda yang dimasak jumlahnya juga sangat banyak.
Bahkan untuk mengaduknya atau dalam bahasa Jawa disebut hangudek harus menggunakan alat menyerupai dayung perahu. Dari proses mengaduk (hangudeg) ini makananan yang diciptakan dari nangka muda ini disebut gudeg.
Selain itu, gudeg juga tercatat dalam karya sastra Jawa Serat Centhini. Diceritakan di dalamnya, pada tahun 1600-an Raden Mas Cebolang tengah singgah di pedepokan Pengeran Tembayat yang saat ini berada di wilayah Klaten.
Di sana Pengeran Tembayat menjamu tamunya yang bernama Ki Anom dengan beragam makanan dan salah satunya adalah gudeg.
Gudeg sejatinya bukanlah makanan yang berasal dari lingkungan kerajaan, melainkan dari masyarakat. Meskipun demikian, untuk menjadi makanan tradisional yang setenar saat ini, perlu proses yang panjang.
Murdijati Gardjito mengungkapkan karena gudeg perlu waktu memasak yang lama, pada awal abad 19 di Yogyakarta sendiri belum begitu banyak orang berjualan gudeg.
“Saking istimewanya, karena proses memasaknya yang lama dan pada waktu itu belum banyak yang berjualan, gudeg sering dijadikan makanan nadzar, atau wujud rasa sukur. Seperti jika anak sedang sakit, akan diajak makan gudeg jika nanti telah sembuh,” cerita Murdijati Gardjito.
Kemudian pada tahun 1940-an bersamaan dengan ide Presiden Sukarno membangun universitas di Yogyakarta (UGM), gudeg mulai berkembang dan banyak dikenal masyarakat. Dari sinilah gudeg kering juga mulai hadir.
Keinginan para mahasiswa luar daerah yang ingin menjadikan gudeg sebagai oleh-oleh menghadirkan gudeg kering yang dimasak di dalam kendil agar lebih tahan lama.
Pembangunan kampus UGM di daerah Bulaksumur, juga memunculkan kampung sentra gudeg Mbarek yang berdekatan.
“Karena banyaknya mahasiswa UGM dan mereka perlu makan, maka hadir kampung Mbarek yang di sana banyak penjual gudeg. Keberadaan kampung ini semakin membuat gudeg kering berkembang dengan baik,” ungkap Murdijati Gardjito.
Seiring dengan berjalannya waktu, sektor wisata juga semakin berkembang. Hal ini melatarbelakangi pemerintah untuk mengkontruksi sentra gudeg baru, yang berada di Wijilan sekitar tahun 1970-an.
Hingga saat ini gudeg telah menjadi ikon kuliner Yogyakarta, keberadaanya mudah ditemukan di setiap sudut kota Pelajar ini. Gudeg pun telah berkembang dengan baragam varian. (tom)