Sejarah mencatat bahwa bioskop pertama kali diperkenalkan pada tahun 1895 oleh Robert Paul yang mendemonstrasikan kepada masyarakat di London mengenai kemampuan proyektor film. Lima tahun kemudian, tepatnya tanggal 5 Desember 1900, film mulai masuk ke Batavia (Hindia Belanda). Semula film ini hanya lantaran rasa kebanggaan orang kulit putih yang tidak mau kalah dari saudara-saudaranya yang tinggal di tanah airnya. Istilah pada saat itu adalah â??gambar idoepâ?.
Bangunan bioskop kala itu menyerupai bangsal dengan dinding dari bilik bambu (gedek) dan beratapkan seng. Setelah selesai pemutaran film, bioskop itu kemudian dibawa keliling ke kota yang lain. Bioskop ini di kenal dengan nama Talbot, yang merupakan nama dari pengusaha bioskop tersebut.
Bioskop pertama di Batavia (Jakarta) berdiri pada Desember 1900, di Jalan Tanah abang I, Jakarta Pusat. Pendiri bioskop di Batavia adalah seorang Belanda bernama Talbot. Gedung bioskop bermula di Lapangan Gambir (kini Monas). Kemudian seorang Belanda yang lain bernama Schwarz mengikutinya.
Bioskop yang diusahakan oleh Schwarz ini saat itu main di tempat orang belajar menunggang kuda, lalu di Kebon Jahe, dekat Tanah Abang. Terakhir bioskop Schwarz ini menempati gedung di Pasar Baru. Sayang tak lama kemudian gedung permanen itu habis terbakar. Karcis kelas 1 bioskop kala itu harganya dua gulden (perak), sedang harga karcis kelas dua setengah perak.
Pada 1903, seorang Belanda lagi bernama de Callone mengusahakan bioskop Deca Park. Mula-mula berupa bioskop terbuka di lapangan yang dijaman sekarang disebut “misbar” atau gerimis bubar. Tetapi kemudian de Callone menggunakan sebuah gedung yang dinamakannya Capitol yang lokasinya ada di Pintu Air.
Seorang pengusaha Tionghoa lalu mendirikan pula bioskop di Pintu Air. Bioskop itu bernama Elite. Beberapa tahun kemudian bioskop ini dijual kepada Universal Film & Co. Pada zaman itu penonton sangat menyukai film-film seperti “Fantomas”, “Zigomar”, “Tom Mix”, “Edi Polo” dan film lucu yang dibintangi oleh Charlie Chaplin, Max Linder, Arsen Lupin dan lain-lain. Saat itu film-film tersebut merupakan film bisu yang diramaikan oleh musik orkestra.
Sampai saat penyerahan Belanda kepada Jepang pada 1942, ada beberapa bioskop di Jakarta seperti bioskop Rex yang ada di Kramat Bunder, bioskop Cinema di kawasan Krekot, bioskop Astoria di Pintu Air, bioskop Centraa di Jatinegara, dua bioskop bernama Rialto, masing-masing di Senen dan Tanah Abang. Kemudian bioskop Thalia di Jalan Hayam Wuruk, bioskop Olimo yang sekarang tidak ada lagi, bioskop Orion di Glodok dan bioskop Al Hambra di Sawah Besar. Namun semua bioskop itu kini hanya tinggal kenangan. (tom)