Tanggal 30 Maret kemarin diperingati sebagai Hari Film Nasional. Untuk merayakannya, diadakan berbagai promo menonton film nasional, bahkan film Indonesia juga diputar di Istana dan masyarakat bisa nonton bareng Presiden Joko Widodo di sana.
Dilansir dari CNNIndonesiacom, Rabu (1/4/2015), melihat sejarah, sebenarnya Indonesia sudah mengenal film sejak seabad lebih yang lalu. Pada 5 Desember 1900, bioskop pertama dibuka di kawasan Tanah Abang. Namanya Gambar Idoep. Selaras, karena film-film yang tayang di bioskop di Batavia itu memang masih bisu. Tapi setidaknya Indonesia tak ketinggalan terlalu jauh dibanding negara lain di dunia soal hiburan yang satu ini. Bioskop Gambar Idoep muncul hanya selang lima tahun sejak film dan bioskop pertama lahir di Prancis.
Hanya saja, era film bisu kemudian bertahan cukup lama. Film pertama yang diproduksi di Indonesia adalah “Loetoeng Kasaroeng”. Sutradaranya orang Belanda. Film itu diproduksi tahun 1926, setelah lebih dari serempat abad Gambar Idoep eksis. Namun formatnya masih bisu, padahal film di negara-negara lain sudah mulai punya suara.
Setelah beberapa tahun bioskop Indonesia dihiasi film dari sutradara asing dan propaganda politik baik Belanda maupun Jepang, baru tahun 1950 Indonesia akhirnya punya film sendiri. Judulnya “Darah dan Doa”. Film tersebut disutradarai olehUsmar Ismail. Itulah tonggak film nasional.
Pada tanggal 30 Maret, 65 tahun lalu, “Darah dan Doa” yang digarap oleh hampir seluruhnya orang Indonesia, resmi syuting pertama kali.
“Darah dan Doa” merupakan film berlatar perang. Produksi pertama Perusahaan Film Nasional Indonesia itu dibuat berdasarkan skenario yang dibikin penyair Sitor Situmorang. Itu bercerita tentang perjalanan pejuang revolusi Indonesia yang tergabung di divisi Siliwangi.
Kisahnya berawal dari perjalanan panjang prajurit divisi Siliwangi Republik Indonesia. Mereka sukses menumpas pemberontakan di Madiun dan membunuh beberapa anggota partai komunis. Namun setelah Yogyakarta diserang Belanda, mereka diperintahkan kembali ke pangkalan semula di Jawa Barat.
Mereka, bersama beberapa perempuan dan anak-anak, kembali berjalan ke Jawa Barat di bawah pimpinan Kapten Sudarto. Perjalanan panjang mereka mengalami banyak rintangan. Mulai stok makanan yang menipis sampai serangan udara.
Kapten Sudarto sebagai bintang utama, dikisahkan berhubungan dengan dua perempuan. Satu berdarah Jerman, yang kemudian berpisah setelah serangan Yogyakarta. Yang kedua, adalah suster bernama Widya. Hubungan Sudarto dengan kedua perempuan itu menjadi konflik yang memanaskan film “Darah dan Doa”.
Secara internasional, film itu lebih dikenal dengan judul “The Long March”. Film berbiaya Rp 350 ribu itu mendapat kesempatan diputar di Cannes Film Festival. Ia sempat menjadi kontroversi lantaran objek muatannya, namun akhirnya bisa dirilis. Namun secara bisnis, film itu berujung pada kegagalan.
Meski begitu, “Darah dan Doa” mendapat ulasan yang positif. Usmar Ismail pun dikenal sebagai Bapak Perfilman Indonesia hingga kini. (tom)