Menengok Sejarah Ojek

Menurut indeks Castrolâ??s Magnatec Stop-Star pada 5 Februari 2015, kota Jakarta dinobatkan sebagai kota paling macet sedunia. Oleh karena itu, warga Jakarta harus bersiasat agar bisa menembus kemacetan, mengingat kemacetan sekarang ini tidak bisa dihindari. Salah satunya dengan menggunakan ojek motor.

Ojek bukanlah fenomena baru-baru ini saja. Beberapa dekade sebelumnya ia sudah dikenal dan dijadikan sarana mengais rezeki. â??Ojek menurut cerita sementara orang berasal dari kata â??objekâ?? yang kemudian dijadikan kata kerja dengan logat Jawa menjadi â??ngobjekâ??,â? tulis Panji Masyarakat, 15 Februari 1980. Sementara menurut W.J.S. Poerwadarminta, dikutip Kompas, 22 September 1979, â??ojek adalah sepeda yang ditaksikan.â? Ini mengacu pada perkembangan awal alat mengojek sebelum menggunakan sepeda motor, yaitu sepeda kuno.

Ojek sepeda berkembang sejak tahun 1969 di pedesaan Jawa Tengah. Melihat kondisi jalan desa rusak parah dan tak bisa dilalui mobil, sejumlah orang menawarkan ojek sepeda kepada penduduk desa. â??Sepeda yang dipergunakan adalah sepeda-sepeda kuat-kekar zaman sebelum Perang Dunia II.â? Begitulah sebagaimana dilansir dari Kompas, Selasa (10/2/2015). Para pengojek biasa membonceng orang atau barang titipan penumpang.

Di Jakarta, ojek sepeda muncul pada 1970 di Pelabuhan Tanjung Priok. â??Adanya larangan terhadap bemo, becak, dan lain-lain masuk ke Pelabuhan Priok menyebabkan orang-orang yang mempunyai sepeda mendapat kesempatan untuk menawarkan jasa-jasanya,â? tulis Kompas, 12 September 1970.

Ojek sepeda lalu menyebar ke Ancol, Kota, dan Harmoni. Jumlah pengojek sepeda hampir 500 orang. Warga kota mengandalkan ojek sepeda untuk jarak tempuh dekat dalam waktu cepat dengan ongkos lebih murah ketimbang transportasi lain. Saat ini ojek sepeda masih eksis, terutama di Kota.

Saat warga kota Jakarta mulai mengenal ojek sepeda, penduduk desa di Jawa Tengah berinovasi. Mereka beralih menggunakan sepeda motor untuk mengojek. Seluruh motornya buatan Jepang bermesin 90cc. â??Kita boleh pilih diboncengkan oleh pemiliknya yang bertindak sebagai sopir atau mengemudikan sendiri dengan membayar sewa yang notabene lebih sedikit dari memakai sopir,â? tulis Kompas 9 Juni 1971.

Tertarik keuntungan menggiurkan dari ojek motor, sejumlah petani di Jawa Timur menyambi jadi pengojek motor. Mereka biasa mangkal di pemberhentian bus, pertigaan, atau perempatan. Para pengojek tak memusingkan soal surat izin mengemudi atau izin usaha. Terpenting adalah motor bisa jalan dan penumpang selamat sampai tujuan. Tarif tergantung kesepakatan pengojek dan penumpang. â??Jika penumpangnya cantik, tentu saja tarif bisa diluweskan,â? tulis Kompas, 22 Oktober 1974.

Tak semua senang dengan kehadiran ojek motor. Brigadir Jenderal Karamoy, direktur Lalu-Lintas Markas Besar Kepolisian, mengatakan penggunaan sepeda motor sebagai sarana transportasi bertentangan dengan peraturan lalu-lintas. Dia berniat menertibkan ojek motor.

Ali Sadikin, yang pernah menjabat sebagai Gubernur Jakarta, juga berpendapat serupa. Dia bilang ojek tak termasuk jenis angkutan massal di Jakarta. Angkutan massal Jakarta hanya berupa bus, kereta api, taksi, dan minicar (bajaj, bemo, dan helicak).

Baik polisi maupun pemerintah daerah belum bertindak hingga 1979. Jasa ojek motor pun cepat menyebar ke penjuru Jakarta. Menilai perkembangan ojek motor semakin tak terkendali dan tanpa izin, polisi akhirnya menggelar razia ojek motor pada tahun 1979. Tapi ojek motor tetap hidup, hingga kini. (tom)

Written by Hutomo Dwi

Cowok penyuka Jepang, dari bahasa, musik, sampai film dan animenya.

Mengenal Berbagai Jenis Minuman Kopi

Lucu, Ada Anjing Lakukan Resepsi Pernikahan